RSS

“Drama Keadilan” Di Ranah Banten

04 Mar

4 Dari 14 Terdakwa Korupsi Rp14 Miliar Dibebaskan Dalam Putusan Sela
Serang — Inilah “drama keadilan” di ranah Banten. Empat dari 14 terdakwa korupsi dana perumahan dan tunjangan DPRD Banten 2004 Rp 14 miliar dibebaskan dari tahanan karena dakwaan jaksa penuntut umum tak jelas, sehingga batal demi hukum dalam sidang di Pengadilan Negeri Serang, Rabu (7/2).

Ironisnya, pembebasan terdakwa tersebut terjadi dalam putusan sela dalam sidang yang dipimpin Yuferri Rangka. Ke-4 terdakwa yang dibebaskan adalah Udin Janahudin, Robert Witaharja, Mukhlis Toyib dan Marzuki Raili. Mereka didampingi pengacaranya, Sarullah. Putusan sela ini bersifat final, sehingga keberatan yang diajukan jaksa nantinya harus di Pengadilan Tinggi Banten, bukan lagi di Pengadilan Negeri Serang.
“Dakwan jaksa tidak jelas, yaitu antara dakwaan berlapis antara primer dan dakwaan subsider itu sama. Surat dakwaan itu harus batal demi hukum. Sebagai konsekwensinya, ke-4 terdakwa harus dibebaskan,” kata Yuferri Rangka, Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut.
Dakwaan yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU), yakni dakwaan kesatu primer pasal 2 ayat (1), jo pasal 18 UU Nomor 31/1999, jo UU Nomor 20 Tahun 2001, jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dan subsidernya adalah pasal 3, jo pasal 18 UU Nomor 31/1999, jo UU Nomor 20 Tahun 2001, jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan dakwaan kedua primernya adalah pasal 2 ayat (1), jo pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999, jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dakwaan kedua subsidernya adalah pasal 3, jo pasal 18 UU Nomor 31/1999, jo UU Nomor 20 Tahun 2001, jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dianggap tidak memenuhi syarat dakwaan.
“Bentuk dakwaan itu ada tiga, yaitu tunggal, akumulatif dan alternarif. Tetapi dakwaan yang diajukan JPU, tidak masuk kepada tiga bentuk dakwaan yang ada,” ujarnya.
Yuferri Rangka mengatakan, dibebaskanya para terdakwa dari tahanan bukan berarti membebaskan keempat tersangka itu dari dakwaan. JPU bisa kembali mengajukan dakwaan baru melalui Pengadilan Tinggi Banten. “JPU bisa mengajukan dakwaan baru kepada Pengadilan Tinggi,” katanya.
Sarullah, Tim Kuasa Hukum ke empat terdakwa menyatakan, dakwaan JPU dianggapnya tidak sesuai dengan aturan yang tertuang pada pasal 64-65 KUHP. “Dalam dakwaan itu, jelas bertentangan dengan KUHP,” kata Sarullah usai sidang. Edy Jokosupandi, salah satu JPU tidak mengomentari banyak hal itu. Karena, dia akan kembali mengkajinya. “Kita masih pikir-pikir dulu,” katanya.
Usai majelis hakim memberikan keputusan, keempat terdakwa langsung melakukan sujud syukur. “Kami tidak melakukan perbuatan melawan hukum, apalagi korupsi,” ujar Rabert Witharja.
Sementara itu, 5 terdakwa eks anggota DPRD Banten kelompok Iwan Rosadi juga disidangkan, kemarin. Dengan agenda sidang tanggapan JPU atas Esepsi (Pembelaan) yang diajukan kuasa hukum terdakwa. Sedangkan, agenda sidang untuk lima terdakwa eks anggota DPRD Banten, kelompok Yusuf Efendi Sagala memasuki agenda sidang putusan sela yang akan di gelar hari ini, Kamis (7/2).
Dalam kasus dana perumahan dan kegiatan penunjang DPRD Banten 2004 Rp 14 miliar, Pengadilan Negeri Serang telah memvonis Dharmono K Lawi (mantan Ketua DPRD Banten) dengan penjara 4,5 tahun dan denda Rp 450 juta, Mufrodi Muchsin (mantan Wakil Ketua DPRD) penjara 4 tahun dan denda Rp 400 juta, almarhum Muslim Djamaludin (mantan Wakil Ketua DPRD) penjara 4 tahun denda Rp 400 juta, Tuti Sutiah Indra (mantan Sekretaris PAL DPRD) sebanyak 1 tahun penjara dan denda Rp 200 juta, Djoko Munandar (mantan Gubernur Banten) dengan hukuman 2 tahun penjara denda Rp 200 juta dan almarhum Tardian (Sekwan Banten) dengan 1 tahun penjara.
Mahkamah Agung (MA) telah menolak kasasi maupun peninjauan kembali (PK) yang diajukan mantan pimpinan dewan (ketua dan 2 wakil ketua), berarti hukuman itu telah berkekuatan hukum tetap.

Rekayasa
Muhammad Fitriyadi, Sekretaris II Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) Banten mengatakan, mencurigai adanya rekayasa dalam keputusan dibebaskannya 4 dari 14 terdakwa kasus korupsi dana perumahan dan kegiatan penjang DPRD Banten 2004 sebesar Rp 14 miliar.
“Jika percaya terhadap penjelasan hakim ketua, maka terkesan, jaksa penuntut umum memilik unsur kesengajaan untuk membuat dakwaan yang tidak jelas. Kami pun menilai hakim tidak memiliki rasa keadilan yang berkembang di masyarakat,” kata Muhammad Fitriyadi.
Dia mengemukakan, dalam KUHAP pasal 144 dimungkinkan hakim untuk menerapkan konsultatif berupa anjuran atau saran agar kekeliruan surat dakwaan itu diperbaiki. “Hakim yang menemukan cacat dalam surat dakwaan, kemudian didiamkan dengan maksud menghancurkan dengan produk hukum berupa putusan surat dakwaan batal demi hukum adalah tindakan tidak terpuji,” katanya.
Hakim seperti ini dinilai tidak berdedikasi dan kurang sadar memahami makna the interest of the justice (kepentingan keadilan), tapi lebih menonjolkan the interest of the judge (kepentingan hakim). “Hakim itu sangat arogan. Sudah jelas, kasus korupsi yang disidangkan itu merupakan rangkaian dari perkara yang sebagian pelakunya sudah divonis dan sudah berkekuatan hukum tetap, masak untuk kasus yang sama, hakim membatalkan surat dakwaan,” ujarnya.
Kecurigaan adanya rekayasa dari jaksa juga dilontarkan GNPK. “Sulit bagi kami, jaksa penuntut umum menyusun dakwaan berlapis dengan pasal-pasal yang sama dan tidak mampu menguraikan tindakan pidana korupsi yang dilakukan para terdakwa, kalau bukan adanya unsur kesengajaan. Unsur ini yang menyebabkan hakim memutuskan membatalkan surat dakwaan. Surat dakwaan yang disusun sepertinya untuk memenuhi pasal 143 KUHAP,” ujarnya. (nr) sumber: http://www.bantenlink. com edisi Kamis 8/2-2007:

 
Leave a comment

Posted by on March 4, 2007 in Bantenku Sayang

 

Leave a comment